Friday 4 December 2009

PRESENTASI DAN DEMONSTRASI TENUN IKAT FLORES DI THE NATIONAL GALLERY OF AUSTRALIA CANBERRA

Pada 15 Nopember 2009, the National Gallery Australia (NGA) bekerjasama dengan KBRI Canberra telah mengadakan demonstrasi dan presentasi pembuatan tenun ikat asal Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Sdri. Alfonsa Horeng,pendiri sentra tenun ikat “Lepo Lorun” Flores, NTT dan penerima Australian Leadership Award dari AusAID tahun 2008. Acara dibuka oleh Dubes RI Primo Alui Joelainto dan dihadiri oleh sekitar 70 undangan yang terdiri dari para kurator, kolektor dan asosiasi heritage serta publik Australia.
Dalam sambutannya Duta Besar RI antara lain menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada NGA atas kesempatan yang diberikan kepada Alfonsa Horeng untuk mempresentasikan kekayaan budaya dan keunikan tenun ikat Flores. Upaya yang dilakukan Alfonsa Horeng, tidak saja mengangkat harkat dan martabat perempuan di daerahnya, namun juga mampu melestarikan kekayaan budaya tenun ikat yang menjadi ikon di Flores. Inisiatif NGA untuk menyelenggarakan acara presentasi dan demonstrasi tenun ikat Flores ini sangat bermanfaat untuk semakin meningkatkan pemahaman bagi masyarakat Australia tentang Indonesia, sehingga pada akhirnya memberikan peranan penting bagi upaya peningkatan people-to-people links antara masyarakat kedua negara.



Acara didahului oleh pertunjukkan tarian kemenangan perang “Ja’i” asal Flores yang dibawakan oleh mahasiswa NTT yang sedang belajar di Australian National University serta cuplikan footage dari Trans 7 pada acara Tupperware Inspiring Women yang menampilkan Alfonsa Horeng sebagai bintang tamu. Pada acara utama, Alfonsa Horeng menyampaikan presentasi mengenai sekilas sentra tenun ikat “Lepo Lorun” serta keunikan produksi tenun ikat dari usahanya tersebut. Sebagai penutup, dilakukan demonstrasi pembuatan tenun ikat oleh Alfonsa Horeng yang disaksikan secara antusias oleh para hadirin. Para undangan juga berkesempatan membeli produk tenun ikat berupa berbagai kain dan model tas.


Sentra tenun ikat “Lepo Lorun” merupakan usaha kegiatan para perempuan di desa-desa yang tersebar di Flores yang memiliki misi untuk mempertahankan budaya tenun dan meningkatkan kesejahteraan para perempuan desa. Keunikan produk tenun ikat Flores dari “lepo Lorun” adalah penggunaan instrumen dan bahan pendukung yang tradisional seperti pewarna alam dari tumbuh-tumbuhan tropis; bahan baku dari serat alam yang menggunakan benang alam (benang pintal); serta motif dan teknik penenunan yang dipertahankan secara turun temurun.

Foto-foto Kegiatan Lainnya:






Lihat selengkapnya...

Thursday 7 May 2009

Daftar Produk dan Harga Terbaru Lepo Lorun...Bag.2

Kode: 009 US$ 107

Kode: 015 US$ 107


Kode: 010 US$ 80

Kode: 012 US$ 80




Kode: 008 US$ 107

Kode: 016 US$ 71


Kode: 031 US$ 53

Kode: 029 US$ 80


Kode: 020 US$ 53

Kode: 035 US$ 62


Kode: 025 US$ 53

Kode: 32 US$ 62


Kode: 030 US$ 53

Kode: 027 US$ 53


Kode: 039 US$ 22

Kode: 040 US$ 27



Kode: 028 US$ 62

Kode: 021 US$ 53


Kode: 026 US$ 53

Kode: 037 US$ 27



Lihat selengkapnya...

Tuesday 10 February 2009

Daftar Produk dan Harga Terbaru Lepo Lorun

Kode: 018 US$ 91

Kode: 001 US$ 107


Kode: 023 US$ 53

Kode: 007 US$ 80



Kode: 038 US$ 22

Kode: 011 US$ 80


Kode: 003 US$ 107

Kode: 004 US$ 187



Kode: 034 US$ 62

Kode: 014 US$ 98


Kode: 019 US$ 53

Kode: 022 US$ 53



Kode: 006 US$ 98

Kode: 005 US$ 107


Kode: 024 US$ 53

Kode: 043 US$ 98


Kode: 046 US$ 71

Kode: 013 US$ 80



Lihat selengkapnya...

Monday 5 January 2009

Tenun Ikat Flores (Keragaman Corak dan Ragam Hias) ...Bag.3

Ende
Hasil tenunan di daerah Ende bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di pesisir selatan Flores, memungkinkan orang-orang
Ende berhubungan dengan bangsa pendatang seperti orang Eropa. Tenun Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah, dengan menggunakan ragam hias motif ala Eropa.
Salah satu ragam hias kain Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lain adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Flores pada umumnya tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping, kedua ujung, atau pinggir kain. Kain berlatar belakang hitam. Ragam hias pada kain ini ada pada jalur-jalur horisontal yang memberi kesan seperti gemerlap cermin, yang diwujudkan dalam pembiasan garis geometris. Kain ini terdiri dari dua helai yang digabung dengan jahitan tangan. Pada jalur besar tampak motif ceplok bunga, yang diilhami oleh kain patola. Pengaruh kain patola juga tampak pada adanya barisan tumpal.

Lembata
Selain Lio, daerah di Flores bagian timur yang terkenal dengan kain tenun ikatnya adalah Lembata. Di daerah ini, khususnya daerah Lamalera menurut Ruth Barnes dalam tulisannya The Bridewealth Cloth of Lamalera Lembata, disebutkan bahwa hanya kain sarung untuk wanita yang memakai motif ikat yang disebut mofa. Kain sarung wanita itu sendiri disebut kewatek. Kain sarung untuk laki-laki tidak memakai motif ikat. (Kain sarung untuk wanita berfungsi sebagai pemberian dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki dalam upacara perkawinan).
Ada dua jenis tenunan kain sarung ikat Lembata yaitu kewatek nai rua dan kewatek nai telo. Kewatek nai rua adalah kain sarung yang tenunannya terdiri atas dua bagian kain yang digabungkan. Kewatek nai telo adalah kain yang paling tinggi nilainya. Kain ini terdiri atas tiga bagian yang disambungkan menjadi satu sarung.

Kain Sarung Lembata


Tenun Lembata mempunyai ciri khas dengan dua atau tiga sambungan. Kain ini dipergunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dari pihak keluarga perempuan, dan dipertukarkan dengan gelang-gelang dari gading gajah yang sangat berharga yang diberikan oleh keluarga pihak laki-laki. Semua jenis mas kawin ini merupakan warisan yang diberikan turun-temurun.
Koleksi: Eiko Kusuma


Kain Sarung Ngada


Kain sarung dari Ngada ini mempunyai keunikan di mana bagian kepala berwarna biru tua dan bagian badan kain di kiri dan kanan berwarna merah. Motif ragam hias ikat floral terletak pada bagian tengah kain. Hiasan pinggir atas dan bawah berupa tumpal bentuk daun. Pada jalur ikat di badan kain diisi motif sulur daun.
Koleksi: Eiko Kusuma


Kain Sarung Alor


Kain sarung yang dihiasi jalur-jalur garis bermotif geometris berselang-seling jalur garis kecil dan garis besar berwarna kuning kemiri, hitam, merah kecokelatan, dan jingga.
Koleksi: Anjungan NTT TMII



www.alfonsadeflores.blogspot.com
posting by boim

Lihat selengkapnya...

Monday 1 December 2008

Tenun Ikat Flores (Keragaman Corak dan Ragam Hias) ...Bag.2

Lio
Salah satu daerah di Flores bagian timur yang cukup menonjol dalam pembuatan kain tenun ikatnya adalah daerah Lio. Ragam hias kain tenun ikat dari daerah ini diilhami oleh kain patola India berupa motif ceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motif ceplok, kain dari Lio ini juga dihiasi dengan motif daun, dahan, dan ranting. Kain patola diperkenalkan oleh para pedagang dari Portugis, yang pada abad keenam belas mengadakan perdagangan dan pertukaran kain patola dengan rempah-rempah dari nusantara bagian timur, termasuk di Flores. Bangsa Portugis, dan bangsa-bangsa Eropa lain (Belanda dan Jerman) meninggalkan pengaruh yang begitu besar, terutama karena banyaknya misionaris yang menyebarluaskan agama Kristen Protestan dan Katholik. Hingga saat ini agama Kristen banyak penganutnya di Flores.



Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki motif-motif patola yang diperuntukkan khusus bagi kalangan raja-raja, pejabat, dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio dengan ragam hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau pendiri kampung yang disebut musalaki. Bahkan kain ini dianggap sangat istimewa hingga ikut dikuburkan bersama jenazah seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio yang panjangnya sampai empat meter, yang disebut katipa, digunakan sebagai penutup jenazah. Menurut P. Sareng Orinbao dalam bukunya Seni Tenun Suatu Segi Keburinycum Orang Flores, kata katipa sendiri mempunyai arti yang sama dengan patola, karena berasal dari lafal penyebutan tipa tola. Ciri khas motif tenun Lio yang lain adalah ukurannya kecil dengan bentuk geometris, manusia, biawak, dan lain-lain, yang disusun membentuk jalur-jalur kecil berwarna merah atau biru di atas dasar warna gelap.

Kain tenun Lio ini juga diberi hiasan tambahan atau aplikasi dengan manik-manik dan kulit kerang. Pakaian dengan hiasan khusus ini hanya dipergunakan dalam upacara-upacara adat tertentu. Di Pulau Sumba, kain sarung yang diberi hiasan manik-manik seperti itu hanya dipakai oleh wanita kalangan bangsawan saja.
Selain terkenal dengan tenunannya, Lio juga penghasil kerajinan tembikar berupa kebutuhan rumah tangga khususnya peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat. Ada suatu kesamaan ragam hias pada kain tenun ikat dan barang tembikar yaitu goresan garis-garis geometris seperti bentuk meander, kait, belah ketupat, tumpal, dan lainnya, yang sering terdapat pada ragam hias ikat pada kain tenun dan anyaman.


Kain sarung Lio
Tenun ikat dari Lio menunjukkan kemahiran tenun dengan motif ikat yang halus dan rumit. Ragam hias pada kain dari daerah Lio menunjukkan banyaknya pengaruh kain patola dalam pembuatannya, seperti pada kain sarung ini. Kain ini dibuat dengan latar warna cokelat tua, diberi ragam hias berwarna cokelat muda campur kuning bergaris geometris dalam bentuk flora. Ragam hias dibagi dalam beberapa jalur. Jalur besar di tengah diapit jalur kecil dan di kedua ujung kain terdapat jalur¬jalur motif flora sebagai hiasan ujung dan hiasan pinggir.


Kain sarung yang mempunyai dua latar/dasar warna, yaitu tiga bagian berlatar gelap (cokelat hitam) dan satu bagian berlatar merah. Pada latar yang berwarna cokelat hitam dihiasi dengan motif patola ceplok bunga bersudut delapan warna kuning. Pada latar kain berwarna merah diberi ragam hias jalur-jalur yang diisi motif tumpal gaya pepohonan dan ranting-ranting serta ragam hias geometris.

posting by boim
www.alfonsadeflores.blogspot.com
Lihat selengkapnya...

Sunday 26 October 2008

Tenun Ikat Flores (Keragaman Corak dan Ragam Hias)

PULAU FLORES merupakan bagian dari kelompok pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, dan mendapat banyak pengaruh dari pulau-pulau sekitarnya. Pengaruh-pengaruh tersebut memperkaya budaya suku-suku di Flores yang jumlahnya mencapai hampir tiga puluh suku. Setiap suku 'mempunyai bahasa dan dialeknya sendiri. Di bagian barat pulau Flores tinggal orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung, dan Nage Keo, sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka. Sebagian besar masyarakat Flores hidup dari bercocok tanam dan berternak kerbau dan kuda. Kedua jenis hewan tersebut dipergunakan sebagai alat pembayaran mas kawin. Dan pada umumnya kuda juga berfungsi sebagai alat transportasi. Kepandaian menenun ini diwariskan secara turun-temurun, dan telah dipelajari sejak mereka masih kecil. Salah satu tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan memakan sirih dilakukan wanita Flores, khususnya penenun, di sepanjang hari saat bekerja. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai penutup jenazah. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun ikat juga digunakan sebagai perlengkapan upacara adat sebagai pakaian adat, pakaian upacara, dan mas kawin.


Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain digunakannya pewarna sintetis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan baku kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat yang dicelup dengan pewarna alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas, juga masih ada.

Tenun ikat Flores dibuat dengan bahan dasar benang dari kapas yang dipilin oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan menyolok. Kain tenun dari daerah Manggarai banyak menggunakan warna kuning keemasan, merah, dan hijau.

Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan mengikat benang-benang lungsi. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama berminggu-¬minggu, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Seringkali pencelupan dikerjakan satu-persatu untuk setiap bakal kain sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung. Ketika kerajaan-kerajaan kecil di Flores masih ada, sejumlah orang bekerja khusus sebagai pembuat kain-kain tenun untuk kebutuhan kalangan raja-raja di istana. Jika dahulu ada pembedaan pakaian adat berdasarkan status sosial (golongan bangsawan atau rakyat jelata), maka masa sekarang tidak lagi. Sekarang kain-kain tenun dibuat untuk dijual ke pasaran lalu dijual lagi kepada mereka yang membutuhkannya. Pesanan dengan kualitas khusus masih dilayani dengan harga khusus pula.

Beberapa daerah yang menghasilkan kain-kain tenun adalah Manggarai, Ngada, Nage Keo, Ende, hingga sekitar Lio, Sikka, dan Lembata di bagian timur Flores.
Di daerah-daerah tersebut, seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya, benang yang diikat adalah benang lungsi.

Manggarai dan Ngada

Di daerah Manggarai ada teknik lain pembuatan ikat, yaitu menggunakan lidi-lidi pengungkit dalam proses penenunan untuk menghasilkan pakan tenun songket tambahan. Di daerah Ngada, Flores Tengah, juga terdapat kain tenun songket warna kuning emas sebagai pengganti songket benang emas. Kain-kain tenun songket Flores di atas latar tenunan benang kapas ini mempunyai banyak persamaan dengan kain-kain songket dari Sumbawa. Menurut tinjauan sejarah wilayah sebelah barat Flores dulu merupakan daerah kekuasaan kerajaan Bima-Sumbawa yang memiliki kain-kain tenun songket benang emas dan perak untuk kalangan raja-raja Bima. Hal ini membawa pengaruh yang cukup kuat di daerah sebelah barat Flores, sehingga mereka pun mempunyai tradisi membuat kain tenun songket walaupun tidak menggunakan benang emas dan benang perak.

Selain kain songket, masyarakat Ngada juga membuat kain tenun ikat. Tenun ikat yang mereka buat menggunakan warna-warna gelap, antara lain dengan kombinasi warna biru dan cokelat, dengan garis-garis sederhana. Sedangkan suku Nage Keo menghasilkan tenunan yang menampilkan motif bintik-bintik kecil dari teknik ikat pembentuk motif floral. Jalur ikat ini dikombinasikan dengan jalur-jalur kecil lain berwarna putih, merah, dan biru polos.
Seperti halnya kain sarung, pada kain songket juga ada pembagian desain kain antara lain adalah yang disebut bagian kepala yang diletakkan di bagian tengah dan yang disebut badan yang diletakkan di belakang kain lainnya. Pembagian desain songket dari Manggarai dan Ngada ini juga membentuk bagian badan dan kepala, dengan motif yang berbeda di kedua bagian tersebut. Saat dikenakan, bagian kepala biasanya diletakkan di bagian depan dan bagian badan diletakkan di belakang. Di Flores, kain tenun biasanya dikenakan hingga setinggi dada. Dalam perkembangannya, mereka menggunakan kebaya yang pemakaiannya dimasukkan dalam sarung. Cara memakai kain sarung seperti ini hampir sama dengan cara wanita Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan, atau Kaili dan Donggala di Sulawesi Tengah.

Sikka

Pada mulanya kain adat Flores untuk wanita berbentuk sarung setinggi dada dan dilipat di bagian depan. Di bagian pinggang pemakai dikenakan ikat pinggang dari perak. Mereka tidak menggunakan kebaya atau blus. Namun kini ada variasi lain dari cara pemakaian kain sarung, di mana lipatan kain sarung diikat di salah satu bahu sehingga agak terangkat ke atas pada salah satu sisinya.

Cara pemakaian kain di Flores ada bermacam-macam. Lain daerah atau suku, bisa berbeda pula cara pemakaiannya. Perempuan suku Sikka di Maumere, Kabupaten Sikka, menggunakan kain sarung sebatas pinggang yang disebut utan, yang dipadukan dengan baju kebaya yang disebut labu, yang modelnya mirip kebaya Maluku. Utan dengan ragam hias yang diberi warna gelap atau hitam disebut utan welak. Paduan kain dan labu ini masih dirasa kurang bila tidak menggunakan selendang yang disebut dong. Penampilan kaum perempuan ini masih dilengkapi tusuk konde dari emas atau perak yang tinggi berbentuk bunga, yang disebut bunga we. Hiasan tusuk konde serupa ini dipakai juga dalam pakaian adat Ende.

Kaum pria suku Sikka memakai kemeja yang juga disebut kebaya labu dan celana panjang. Di luar celana mereka mengenakan sarung yang disebut lipa atau utan yaitu jenis kain sarung orang Sikka yang berwarna biru tua atau biru hitam dihiasi dengan jalur-jalur biru muda atau biru toska. Mereka pun mengenakan selendang lebar yang disampirkan di bahu sampai dada yang disebut lensu sembar. Sebagai penutup kepala para laki-laki biasanya menggunakan destar. Destar mereka kadang-kadang justru terbuat dari bahan batik Jawa. Selain itu ada hal lain yang khas dalam pakaian adat Sikka, kain tenun warna hitam atau gelap hanya dipakai oleh mereka yang telah berumur, sedangkan kaum muda memakai kain tenun dengan warna terang dan menyolok.

Proses saat serat bunga kapas dipintal menjadi benang

Memintal serat/benang tenun di Flores

Cara memakai kain sarung dari Sikka

bersambung...

www.alfonsadeflores.blogspot.com
Repro: koleksi dokumentasi Anjungan NTT TMII
posting by: boim




Lihat selengkapnya...
 

blogger templates | Make Money Online